Ilmu atau teori politik Islam bersumber
dan diderivasi dari Alquran. Mungkin ini dianggap klaim berlebihan, tetapi
sebenarnya tidak juga. Sebab politik menyangkut banyak bidang kehidupan,
sedangkan ayat-ayat dalam Alquran banyak membicarakan masalah kehidupan sosial
termasuk politik. Meski ayat-ayat itu baru berupa semisal konsep, namun jika
dipahami dengan penalaran yang cerdas akan ditemukan prinsip luhur berpolitik.
Konsep-konsep semisal dalam ayat-ayat itu berkaitan antara satu dengan yang
lain dan membentuk struktur konsep yang sistemik. Sebagai contoh konsep
khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30, QS. An-Nur: 55, QS. An-Naml: 62, QS.
As-Shad: 26, QS. Al-An’am: 165), berkaitan erat dengan konsep hukum dan
keadilan (QS. An-Nisa: 58, 105, 135, QS. Al-Maidah: 6) dan juga kepemimpinan
(QS. Ali-Imran: 118, QS. An-Nisa: 49, QS. Asy-Syu’ara: 15-152). Masalah
kepemimpinan berkaitan dengan masalah musyawarah (QS. Ali-Imran: 159, QS.
As-Suraa’: 38). Prinsip persatuan dan persaudaraan (QS. Ali-Imran: 103, QS.
Al-Hujurat: 10) berkaitan dengan prinsip persamaan (QS. An-Nisa: 1),
tolong-menolong, membela yang lemah (QS. Al-Maidah: 2, QS. At-Taubah: 11, QS.
Al-Balad: 12-16), perdamaian dan peperangan (QS. An-Nisa: 89-90, QS. Al-Anfal:
61) dan lain sebagainya yang sangat komplek, sekompleks kehidupan manusia itu
sendiri (Hamid Fahmy Zarkasyi, ISLAMIA, Identitas dan Problem Politik
Islam, Vol. V, 2009: 5-6).
فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (٥٤)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah
memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan
kepadanya kerajaan yang besar” (QS. An-Nisa: 54).
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ
أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا
عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ (٤١)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang jika
Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”
(QS. Al-Hajj: 41).
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا (٥٨)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS.
An-Nisa: 58).
Makna kerajaan, kedudukan, hukum, dan
keadilan sebagaimana telah tertulis dalam ayat-ayat di atas adalah makna-makna
yang mewakili makna politik. Menurut Muhammad Elvandi, politik yang berarti
pengelolaan urusan manusia sangat memadai untuk kalimat-kalimat tersebut, juga
untuk makna-makna serupa yang sangat banyak di dalam Alquran. Betul bahwa
istilah politik atau as-siyasah tidak
tercantum di dalam Alquran, tetapi prinsip-prinsip politik sangat ditekankan di
dalamnya sebagai pegangan manusia dalam berinteraksi di tengah masyarakat luas.
Jika dalam Alquran terdapat esensi politik
walau tidak ada sama sekali istilah politik atau as-siyasah maka dalam Hadits, politik dalam
konteks pengeloaan manusia terdapat dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu
Hurairah r.a.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الأَنْبِيَاءُ
Artinya: “… (Zaman dahulu) Bani Israil itu dipimpin oleh para Nabi”.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari, sebagaimana dinukil oleh Muhammad
Elvandi bahwa kata yasusu yang
menjadi akar kata as-siyasah dalam Hadits shahih
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola
dan memimpin masyarakat ke jalan yang benar, dan membela yang teraniaya dari
para pelanggar.
Siyasah (politik) secara bahasa berarti
mengelola, mengatur, memerintah, dan melarang sesuatu. Yusuf Qardhawi
mengartikan politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan
pengelolaan masyarakat madani. Kemudian Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan
siyasah sebagai pengelolaan masalah umum bagi Negara bernuansa Islam yang
menjamin terealisasinya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan
tidak melanggar ketentuan syariat. Selanjutnya dalam buku As-Siyasah Al-Hakimah, sebagaimana dinukil oleh Abdul
Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “Pilar-pilar Kebangkitan Umat”
dijelaskan bahwa Ibnu Qayyim mendefinisikan politik adalah semua aktivitas yang
mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan, meskipun
tidak pernah ditegaskan oleh Rasul dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang
diturunkan, karena semua jalan yang bisa mengantarkan kepada keadilan, maka
jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam).
Dalam tradisi Arab, orang yang memegang
kekuasaan secara politik adalah orang yang mengurusi urusan rakyat,
mengaturnya, dan menjaganya. Kemudian yang lebih menarik adalah bahwa ternyata
politik itu tidak identik dengan kekuasaan dan memanfaatkan orang lain untuk
kepentingan pribadi atau golongan. Dalam kitabMu’jamu Lugghatil Fuqaha jilid
1, hal: 237, sebagaimana dinukil oleh Jasiman, bahwa dalam hal siyasah ada dua
kata kunci yang dapat diambil dari kamus bahasa para fuqaha, yaitu cinta dan
pelayanan.
Dalam sejarah peradaban Islam, telah
banyak ulama-ulama klasik yang menulis berkaitan dengan masalah politik.
Seperti Ibnu Abi Rabi (w. 842M) menulis buku berjudul Suluk al-Malik fi tadbir al-Mamalik, Al-Farabi (w.
339H/ 950M) menulis buku Ara Madinat al-Fadhilah,
Al-Mawardi (w. 450H/ 1058M) yang menulis teori politiknya dalam buku berjudul Al-Ahkam al-Sultaniyah, Al-Ghazali (w. 505H/ 1111M)
menulis buku berjudul Al-Tibrul Masbuk fi Nasihat
al-Muluk, dan Ibnu Taimiyyah (w. 728H/ 1328) menulis buku Al-Siyasah al-Syar’iyyah.
Islam sebagai agama yang komprehensif
telah banyak berbicara terkait seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
politik. Oleh karenanya antara agama dan politik tidak ada sekularisasi
(pemisahan). Sebagaimana pandangan seorang ulama kontemporer, yaitu Hasan
Al-Banna, bahwa politik tidak terlepas dari Islam. Hal demikian berangkat dari
pemahamannya bahwa Islam mencakup dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
di mana politik adalah sebagian diantaranya. Memisahkan agama dari politik atau
memisahkan politik dari agama sama saja dengan memisahkan agama ini dari
kehidupan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sekuler. Atas dasar itu, secara
tegas Hasan Al-Banna mengatakan bahwa seorang muslim tidak akan sempurna
keislamannya kecuali bila ia menjadi politikus, memberikan perhatian terhadap
problematika umat, dan peduli kepadanya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
setiap organisasi keislaman harus menjadikan kepedulian terhadap problematika
politik umat sebagai program utamanya, dan bila tidak maka ia sendiri masih
perlu untuk memahami Islam itu sendiri.
—
Daftar Pustaka:
Al-Ghazali, A. H. (2009). Pilar-pilar Kebangkitan Umat: Intisari Buku Majmu’atur Rasail. (M.
Badawi, Penyunt., K. A. Faqih, & Fachruddin, Penerj.) Jakarta: Al-I’tishom.
Elvandi, M. (2011). Inilah Politikku. (Jasiman, & A. Ghufron,
Penyunt.) Solo: Era Adicitra Intermedia.
Jasiman. (2012). Rijalud Daulah: Mempersiapkan Pejabat Publik yang Merakyat. (A.
Ghufron, Penyunt.) Solo: Era Adicitra Intermedia.
Zarkasyi, H. F. (2009). Identitas dan Problem Politik Islam. ISLAMIA , V.
Sumber dikutip dari : Dakwatuna
Penulis : Fazar Romadhon
subhanallah
BalasHapus